Pages

My Blog List

Thursday, December 27, 2007

Tuhan maha adil

Beberapa hari lalu, saya dan ibunya anak-anak berdebat mengenai keadilan Tuhan.
Perdebatan seperti ini sering terjadi ketika anak-anak sudah tidur dan kita berdua juga menjelang tidur malam. Pada waktu itu, ibunya anak-anak bercerita tentang temannya yang hampir tiap tahun pergi ke tanah suci Mekah untuk berhaji atau umroh.

Saya berkomentar bahwa pergi Haji berkali-kali itu tidak banyak manfaatnya dari segi nilai keagamaannya sendiri, apalagi sosial. Pertama karena kewajiban kita hanya sekali untuk menunaikan ibadah Haji. Kedua, banyak fenomena sosial di tanah air yang bisa terselesaikan dengan modal sebesar ongkos naik haji (apalagi kalau pakai plus-plus).

Ibunya anak-anak bilang kalau itu terserah yang punya uang, lalu saya bilang bahwa mungkin karena dia hampir tidak mengalami masa-masa kesusahan materi sehingga tidak berpikiran untuk mengalokasikan dana ongkos naik haji ini untuk kepentingan yang lebih mulia baik dari segi ibadah maupun manfaat sosialnya.

Lalu ibunya wis-nisrin bilang kalau semua orang berpikiran seperti saya, nggak seru, masak semua orang wangi semua, sambungnya. Itu letak adilnya Tuhan, sambungnya lagi. Lalu saya tanya, apa kaitannya dengan keadilan Tuhan dalam hal ini? Saya tidak melihat ada kaitan antara keadilan Tuhan dengan samanya persepsi akan sesuatu. Mungkin ibunya anak-anak mau menjelaskan bahwa Tuhan maha adil, makanya ada yang wangi dan tidak wangi biar saling melengkapi.

Apa bener seperti itu untuk menjelaskan keadilan Tuhan? Saya rasa tidak. Keberagaman memang salah satu hukum alam agar kita saling mengenal. Keberagaman hanyalah salah satu konsekwensi dari hukum alam/hukum Tuhan/sunnatulloh. Sedangkan keadilan Tuhan itu terwujud/terimplementasikan/terejawantahkan dalam hukum alam atau sunnatulloh itu. Tuhan tidak adil kalau misalnya saya melempar batu keatas lalu batunya tidak pernah jatuh sedangkan orang lain melempar keatas lalu jatuh lagi. Disini ada suatu kepastian yang memberi jaminan buat semuanya (termasuk binatang dan tumbuhan) bahwa hukum alam itu berlaku sama.


Keadilan Tuhan terletak pada kepastiannya.

MSU
AUH 27 Desember 2007

Ilmu

Ada hal-hal dalam agama yang kita terima begitu saja dengan sepenuh hati karena kecintaan kita pada agama (Alloh dan Rasulnya, semoga damai selalu menyertainya-sallallahu ‘alaihi wasallam) itu sendiri. Misalnya seperti keberadaan Alloh swt itu sendiri, serta banyak hal-hal gaib yang tidak bisa kita buktikan karena keterbatasan pengetahuan kita itu sendiri. Namun ilmu dan perbuatan mulia akan membuat derajad keberagamaan kita menjadi lebih tinggi.

Ilmu menjadikan kita tahu akan sesuatu dan memahami gejala sebab akibat. Ilmu membuat kita mampu memilih yang terbaik sehingga mampu dan bertanggungjawab untuk bertindak adil. Ilmu bisa membuat perasaan kita jadi berkembang dan peka. Ilmu membuat cakrawala pandangan kita jadi luas. Dengan ilmu kita bisa memahami gejala alam dan hukum alam atau sunnatulloh. Ilmu itu pula yang membedakan kita dari binatang.

Darimana datangnya ilmu? Ilmu adalah salah satu atribut Alloh yang telah diberitakan ke kita melalui apa yang disebut asma’ul husna, atau 99 asma/atribut tentang Alloh. Kecuali para nabi dan orang-orang pilihan Alloh, manusia kebanyakan tidak mengalami proses menerima ilmu ini dari Alloh melalui utusanNya. Lalu bagaimana kita menerimanya?

Ilmu hanya bisa kita peroleh melalui proses belajar. Ada dasar-dasar yang harus terpenuhi agar proses belajar ini menghasikan sebuah ilmu. Yang terpenting dari itu semua adalah sebuah pikiran yang jernih, kritis dan terbuka yang siap untuk mengolah dan menyerap informasi yang berasal dari proses belajar tersebut. Sebelum indra kita memverifikasinya baik melalui olah pikiran maupun pennyerapan melalui sebuah pengalaman atau percobaan, sebuah informasi hanyalah informasi.


Orang pertama yang menurunkan ilmu pada kita adalah orang tua kita sendiri, terutama ibu. Tak terkecuali orang yang ditinggal mati ibunya sewaktu melahirkan karena rangkaian informasi mendasar telah diwariskan dalam bentuk DNA yang pada dasarnya merupakan kumpulan informasi yang kita warisi dari orang tua kita.

Pada saatnya kita menjadi orang tua atas anak-anak kita sendiri, kitapun akan berperan sebagai penerus informasi ini. Meneruskan informasi yang baik dan mengajari anak-anak akan segala sesuatu merupakan tanggung jawab yang pada akhirnya akan membawa keuntungan pada orang tua itu sendiri. Menjadi guru pada anak-anak kita bagaikan investasi. Bahkan investasi ini akan terus memberikan manfaat meskipun kita telah meninggal. Hanya orang tua yang berhasil mewariskan ilmu dan pengetahuan yang akan menikmati manfaat doa anak-anaknya yang sholih dan sholihah.

Tanpa ilmu, kita tidak akan mampu membimbing anak-anak kita menjadi orang-orang yang sholih dan sholihah. Hanya orang yang berilmu pula yang bisa menghormati orang tua dan guru-gurunya.

MSU
AUH 27 Dec 2007

Wednesday, December 26, 2007

Makan nggak makan yang penting kumpul

Baru-baru ini, di sebuah mail-list professional yang saya ikuti, ada pembahasan topic mengenai kenapa Negara kita nggak maju-maju. Saya selalu malas membaca topic-topik yang seperti ini karena hampir selalu tidak ada ujungnya, semuanya berpendapat berdasarkan apa yang dipikirnya betul tanpa melalui pemikiran yang mendalam. Lebih menyedihkan lagi, pembicaraan masalah seperti ini berakhir begitu saja tanpa ada tindak lanjutnya.

Kebetulan saya baca yang terakhir (pada tanggal itu) dari rangkaian perbincangannya. Disitu dibandingkan antara Indonesia dan Cina, kenapa kok cina dengan penduduk yang luar biasa banyak dan sumber daya alam yang biasa-biasa aja bisa maju seperti itu sedangkan Indonesia, yang sering mengklaim karena kebanyakan penduduk sehingga susah mengaturnya, yang sumber alamnya mungkin sebanding dengan cina atau mungkin lebih baik lagi, kok nggak ada kemajuan yang berarti.

Kemudian banyak bermunculan alasan-alasan kenapa bangsa kita kok kalah terus. Mulai dari korupsi, salah management, sampai perilaku budaya disebut-sebut sebagai biang keroknya. Ambil beberapa contoh disitu yang berkaitan dengan budaya. Disitu ada yang menyebutkan bahwa budaya atau perilaku “makan nggak makan yang penting kumpul”, “terlalu menerima”, “banyak anak banyak rejeki” dan sejenisnya, perlu dirubah biar kita punya pandangan yang maju.

Yang menarik perhatian saya, dari contoh-contoh yang dikemukakan tadi, timbul pertanyaan dalam hati dan akal sehat saya: jaman sekarang ini, apa iya orang masih berpikiran seperti itu? Dengan kata lain, saya meragukan bahwa pola pikir atau budaya seperti itu masih dipertahankan sampai sekarang. Mungkin yang menuliskan tadi belum pernah benar-benar menyelami kehidupan orang-orang yang relatif susah hidupnya. Berapa ratus ribu atau bahkan juta tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri mulai dari pekerja domestik (prosentase terbanyak), pekerja perkebunan sampai tenaga kerja profesional di berbagai bidang. Dia mungkin belum pernah membaca, bagaimana gubernur DKI dan Pemkot Surabaya melontarkan himbauan disetiap kali Idul Fitri agar bagi pemudik tidak membawa sanak saudaranya ke kota-kota besar tadi. Bahkan diapun sepertinya tidak menyadari bagaimana ratusan orang meninggal tiap tahun untuk mudik pulang kampung untuk merayakan idul fitri-untuk menggambarkan betapa banyaknya pemudik.

Mereka semua adalah para warga negara yang telah meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan demi menyambung hidup atau mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka memilih merantau daripada memilih tinggal dirumah bersama sanak keluarga handai taulan untuk sekedar “makan tidak makan yang penting kumpul”.

Budaya akan terus berkembang karena itu hasil dari interaksi manusia dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Dari interaksi tersebut, timbul perilaku yang disepakati yang ujung-ujungnya adalah produk budaya itu sendiri. Dulu ketika jumlah lahan perkebunan dan persawahan masih berlimpah, orang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam dan tidak memerlukan rangkaian perjalanan jauh dari keluarga untuk mencari rejeki.
“Makan tidak makan yang penting kumpul” muncul ketika situasinya tidak memungkinkan untuk mendulang penghasilan yang lebih baik dengan cara merantau, daripada pola hidup bercocok tanam dan beternak di kampung halaman. Semoga akal sehat kita masih bisa menerjemahkan idiom diatas sebagai sebuah pernyataan bahwa kampung halaman jelas menjadi pilihan untuk tinggal dan bekerja dibanding merantau tapi tidak memberikan penghasilan yang lebih baik. Semoga akal sehat kita tidak menerjemahkannya sebagai sebuah pernyataan untuk bunuh diri kolektif karena memilih kelaparan daripada berjauhan dari keluarga.

Baru-baru ini, ada sebuah fenomena yang bisa kita jadikan perbandingan. Di Republik Irlandia, di tahun 1997, penduduk negeri itu hanya sekitar 500 ribu meskipun warga negaranya jauh melebihi angka itu. Artinya adalah mayoritas warga negaranya merantau. Tetapi, di tahun 2007 ini, jumlah penduduk yang tercatat di Negara tersebut melebihi angka 4 juta, sebuah kenaikan yang sangat fantastis. Artinya adalah mayoritas warga negaranya memilih balik kenegaranya untuk bekerja dan bertempat tinggal. Dengan kata lain, telah tersedia lapangan kerja yang sangat banyak dan menarik mereka untuk pulang ke Negara asalnya. Apakah mereka ini juga punya semboyan “makan tidak makan yang penting kumpul”? Jawabannya adalah iya.