Pages

My Blog List

Thursday, December 27, 2007

Tuhan maha adil

Beberapa hari lalu, saya dan ibunya anak-anak berdebat mengenai keadilan Tuhan.
Perdebatan seperti ini sering terjadi ketika anak-anak sudah tidur dan kita berdua juga menjelang tidur malam. Pada waktu itu, ibunya anak-anak bercerita tentang temannya yang hampir tiap tahun pergi ke tanah suci Mekah untuk berhaji atau umroh.

Saya berkomentar bahwa pergi Haji berkali-kali itu tidak banyak manfaatnya dari segi nilai keagamaannya sendiri, apalagi sosial. Pertama karena kewajiban kita hanya sekali untuk menunaikan ibadah Haji. Kedua, banyak fenomena sosial di tanah air yang bisa terselesaikan dengan modal sebesar ongkos naik haji (apalagi kalau pakai plus-plus).

Ibunya anak-anak bilang kalau itu terserah yang punya uang, lalu saya bilang bahwa mungkin karena dia hampir tidak mengalami masa-masa kesusahan materi sehingga tidak berpikiran untuk mengalokasikan dana ongkos naik haji ini untuk kepentingan yang lebih mulia baik dari segi ibadah maupun manfaat sosialnya.

Lalu ibunya wis-nisrin bilang kalau semua orang berpikiran seperti saya, nggak seru, masak semua orang wangi semua, sambungnya. Itu letak adilnya Tuhan, sambungnya lagi. Lalu saya tanya, apa kaitannya dengan keadilan Tuhan dalam hal ini? Saya tidak melihat ada kaitan antara keadilan Tuhan dengan samanya persepsi akan sesuatu. Mungkin ibunya anak-anak mau menjelaskan bahwa Tuhan maha adil, makanya ada yang wangi dan tidak wangi biar saling melengkapi.

Apa bener seperti itu untuk menjelaskan keadilan Tuhan? Saya rasa tidak. Keberagaman memang salah satu hukum alam agar kita saling mengenal. Keberagaman hanyalah salah satu konsekwensi dari hukum alam/hukum Tuhan/sunnatulloh. Sedangkan keadilan Tuhan itu terwujud/terimplementasikan/terejawantahkan dalam hukum alam atau sunnatulloh itu. Tuhan tidak adil kalau misalnya saya melempar batu keatas lalu batunya tidak pernah jatuh sedangkan orang lain melempar keatas lalu jatuh lagi. Disini ada suatu kepastian yang memberi jaminan buat semuanya (termasuk binatang dan tumbuhan) bahwa hukum alam itu berlaku sama.


Keadilan Tuhan terletak pada kepastiannya.

MSU
AUH 27 Desember 2007

Ilmu

Ada hal-hal dalam agama yang kita terima begitu saja dengan sepenuh hati karena kecintaan kita pada agama (Alloh dan Rasulnya, semoga damai selalu menyertainya-sallallahu ‘alaihi wasallam) itu sendiri. Misalnya seperti keberadaan Alloh swt itu sendiri, serta banyak hal-hal gaib yang tidak bisa kita buktikan karena keterbatasan pengetahuan kita itu sendiri. Namun ilmu dan perbuatan mulia akan membuat derajad keberagamaan kita menjadi lebih tinggi.

Ilmu menjadikan kita tahu akan sesuatu dan memahami gejala sebab akibat. Ilmu membuat kita mampu memilih yang terbaik sehingga mampu dan bertanggungjawab untuk bertindak adil. Ilmu bisa membuat perasaan kita jadi berkembang dan peka. Ilmu membuat cakrawala pandangan kita jadi luas. Dengan ilmu kita bisa memahami gejala alam dan hukum alam atau sunnatulloh. Ilmu itu pula yang membedakan kita dari binatang.

Darimana datangnya ilmu? Ilmu adalah salah satu atribut Alloh yang telah diberitakan ke kita melalui apa yang disebut asma’ul husna, atau 99 asma/atribut tentang Alloh. Kecuali para nabi dan orang-orang pilihan Alloh, manusia kebanyakan tidak mengalami proses menerima ilmu ini dari Alloh melalui utusanNya. Lalu bagaimana kita menerimanya?

Ilmu hanya bisa kita peroleh melalui proses belajar. Ada dasar-dasar yang harus terpenuhi agar proses belajar ini menghasikan sebuah ilmu. Yang terpenting dari itu semua adalah sebuah pikiran yang jernih, kritis dan terbuka yang siap untuk mengolah dan menyerap informasi yang berasal dari proses belajar tersebut. Sebelum indra kita memverifikasinya baik melalui olah pikiran maupun pennyerapan melalui sebuah pengalaman atau percobaan, sebuah informasi hanyalah informasi.


Orang pertama yang menurunkan ilmu pada kita adalah orang tua kita sendiri, terutama ibu. Tak terkecuali orang yang ditinggal mati ibunya sewaktu melahirkan karena rangkaian informasi mendasar telah diwariskan dalam bentuk DNA yang pada dasarnya merupakan kumpulan informasi yang kita warisi dari orang tua kita.

Pada saatnya kita menjadi orang tua atas anak-anak kita sendiri, kitapun akan berperan sebagai penerus informasi ini. Meneruskan informasi yang baik dan mengajari anak-anak akan segala sesuatu merupakan tanggung jawab yang pada akhirnya akan membawa keuntungan pada orang tua itu sendiri. Menjadi guru pada anak-anak kita bagaikan investasi. Bahkan investasi ini akan terus memberikan manfaat meskipun kita telah meninggal. Hanya orang tua yang berhasil mewariskan ilmu dan pengetahuan yang akan menikmati manfaat doa anak-anaknya yang sholih dan sholihah.

Tanpa ilmu, kita tidak akan mampu membimbing anak-anak kita menjadi orang-orang yang sholih dan sholihah. Hanya orang yang berilmu pula yang bisa menghormati orang tua dan guru-gurunya.

MSU
AUH 27 Dec 2007

Wednesday, December 26, 2007

Makan nggak makan yang penting kumpul

Baru-baru ini, di sebuah mail-list professional yang saya ikuti, ada pembahasan topic mengenai kenapa Negara kita nggak maju-maju. Saya selalu malas membaca topic-topik yang seperti ini karena hampir selalu tidak ada ujungnya, semuanya berpendapat berdasarkan apa yang dipikirnya betul tanpa melalui pemikiran yang mendalam. Lebih menyedihkan lagi, pembicaraan masalah seperti ini berakhir begitu saja tanpa ada tindak lanjutnya.

Kebetulan saya baca yang terakhir (pada tanggal itu) dari rangkaian perbincangannya. Disitu dibandingkan antara Indonesia dan Cina, kenapa kok cina dengan penduduk yang luar biasa banyak dan sumber daya alam yang biasa-biasa aja bisa maju seperti itu sedangkan Indonesia, yang sering mengklaim karena kebanyakan penduduk sehingga susah mengaturnya, yang sumber alamnya mungkin sebanding dengan cina atau mungkin lebih baik lagi, kok nggak ada kemajuan yang berarti.

Kemudian banyak bermunculan alasan-alasan kenapa bangsa kita kok kalah terus. Mulai dari korupsi, salah management, sampai perilaku budaya disebut-sebut sebagai biang keroknya. Ambil beberapa contoh disitu yang berkaitan dengan budaya. Disitu ada yang menyebutkan bahwa budaya atau perilaku “makan nggak makan yang penting kumpul”, “terlalu menerima”, “banyak anak banyak rejeki” dan sejenisnya, perlu dirubah biar kita punya pandangan yang maju.

Yang menarik perhatian saya, dari contoh-contoh yang dikemukakan tadi, timbul pertanyaan dalam hati dan akal sehat saya: jaman sekarang ini, apa iya orang masih berpikiran seperti itu? Dengan kata lain, saya meragukan bahwa pola pikir atau budaya seperti itu masih dipertahankan sampai sekarang. Mungkin yang menuliskan tadi belum pernah benar-benar menyelami kehidupan orang-orang yang relatif susah hidupnya. Berapa ratus ribu atau bahkan juta tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri mulai dari pekerja domestik (prosentase terbanyak), pekerja perkebunan sampai tenaga kerja profesional di berbagai bidang. Dia mungkin belum pernah membaca, bagaimana gubernur DKI dan Pemkot Surabaya melontarkan himbauan disetiap kali Idul Fitri agar bagi pemudik tidak membawa sanak saudaranya ke kota-kota besar tadi. Bahkan diapun sepertinya tidak menyadari bagaimana ratusan orang meninggal tiap tahun untuk mudik pulang kampung untuk merayakan idul fitri-untuk menggambarkan betapa banyaknya pemudik.

Mereka semua adalah para warga negara yang telah meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan demi menyambung hidup atau mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka memilih merantau daripada memilih tinggal dirumah bersama sanak keluarga handai taulan untuk sekedar “makan tidak makan yang penting kumpul”.

Budaya akan terus berkembang karena itu hasil dari interaksi manusia dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Dari interaksi tersebut, timbul perilaku yang disepakati yang ujung-ujungnya adalah produk budaya itu sendiri. Dulu ketika jumlah lahan perkebunan dan persawahan masih berlimpah, orang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam dan tidak memerlukan rangkaian perjalanan jauh dari keluarga untuk mencari rejeki.
“Makan tidak makan yang penting kumpul” muncul ketika situasinya tidak memungkinkan untuk mendulang penghasilan yang lebih baik dengan cara merantau, daripada pola hidup bercocok tanam dan beternak di kampung halaman. Semoga akal sehat kita masih bisa menerjemahkan idiom diatas sebagai sebuah pernyataan bahwa kampung halaman jelas menjadi pilihan untuk tinggal dan bekerja dibanding merantau tapi tidak memberikan penghasilan yang lebih baik. Semoga akal sehat kita tidak menerjemahkannya sebagai sebuah pernyataan untuk bunuh diri kolektif karena memilih kelaparan daripada berjauhan dari keluarga.

Baru-baru ini, ada sebuah fenomena yang bisa kita jadikan perbandingan. Di Republik Irlandia, di tahun 1997, penduduk negeri itu hanya sekitar 500 ribu meskipun warga negaranya jauh melebihi angka itu. Artinya adalah mayoritas warga negaranya merantau. Tetapi, di tahun 2007 ini, jumlah penduduk yang tercatat di Negara tersebut melebihi angka 4 juta, sebuah kenaikan yang sangat fantastis. Artinya adalah mayoritas warga negaranya memilih balik kenegaranya untuk bekerja dan bertempat tinggal. Dengan kata lain, telah tersedia lapangan kerja yang sangat banyak dan menarik mereka untuk pulang ke Negara asalnya. Apakah mereka ini juga punya semboyan “makan tidak makan yang penting kumpul”? Jawabannya adalah iya.

Thursday, November 29, 2007

Selamat jalan mbah....

Seperti Sepi

Seperti ribuan badik dihunjamkan tepat di jantungku
Seperti hujan bara mengasapi tubuhku
Seperti menabuh genderang perang bertalu-talu

Oh, dimanakah asa
Yang selalu kupegang teguh kala itu
Dimanakah kesabaran yang kujaga tetap di hatiku
Dimanakah cahaya

Lalu seperti apa laguku
Yang kan kunyanyikan kala nelangsa
Yang kudendangkan pelipur lara

Seperti Kala mengganyang bulanku
Seperti ...sepi.
Ini Jum'at ketiga sejak meninggalnya mbah. Kadang-kadang masih ada nyeri mengingat semua kenangan kecil bersama mbah. Mbah yang merawat ibu ketika sakit dan menyelimuti dengan do'a Ibrahim (alaihis salam), mbah yang mengajari ibu do'a Rabi'ah, mbah yang mencubiti ibu (saat tk dulu) di waktu tidur supaya ibu terjaga dan belajar mengerjakan sholat malam, mbah yang menelpon ibu shubuh2 waktu ibu mulai kos saat sma untuk mengingatkan sekarang sudah masuk waktu puasa bulan rajab, mbah tempat ibu bersandar disaat2 sedih, mbah yang.....
Ah, jasa mbah memang begitu banyak. Tak terbayar. Mudik kita berikutnya pasti tak akan sama lagi....

Wa kullun fii falahin yasbahun

Wa kullun fii falahin yasbahun
Dan kutersadar aku hanyalah hamba
Yang telah ditetapkan maqamnya
Yang telah ditetapkan takdirnya

Wa kullun fii falahin yasbahun
Lalu ku berselimut kabut
Dalam kerinduan menggapai-gapai
MerayuNya dengan seribu pilu
Yang pernah dideraNya untukku
Lalu ku hadapkan tangisku padaNya
Agar terbuka semua pintuku menujuNya

Wednesday, November 28, 2007

Abu Dhabi: One of The Richest Cities in the World

Sudah hampir 6 bulan kita tinggal di abu dhabi. Banyak peristiwa yang kita lewatkan gara2 jauh dari rumah dan keluarga. Meninggalnya Tia, sepupu mas Wisang, dan Mbah Yut selepas lebaran kemarin. Kadang-kadang ada keinginan pulang kembali ke Indonesia, biar bisa dekat teman lama dan keluarga. Tapi...namanya rezeki, ternyata kita masih disuruh merantau disini.
Well, awalnya kita nggak nyaman tinggal disini. Sering diremehin sih. Maklum, wajah Asia, Indonesia maksudnya... Disini kan mostly orang yang ada jadi tkw, that's why awalnya suka sakit hati kalo ke supermarket. Soalnya seringkali kita mau minta sesuatu agak nggak digape, tapi begitu kita ngomongnya pake inggris (secara disini tkw2 ngomongnya pake bhs arab) baru deh mereka lebih menghargai. Bahkan pernah, pas ramadhan, waktu kita mau mudik dan belanja kurma di carrefour, penjualnya tuh nggak yakin kalo kita mampu bayar, soalnya kita belanjanya kan banyak banget, dia berulang kali ngomong itu sekilo harganya berapa jadi semua totalnya bakalan segini. Ibu udah bilang, yes, i know, so what?. Tapi dia nggak ngelayanin juga. Ayah sampe sebal dan bilang kamu mau ngelayanin nggak sih? Dasar india nyebelin! Akhirnya dia mau juga ngelayanin setelah ngeliat kereta belanjaan kita yang super penuh barang. Hhhhh...

Oh ya, disini tuh semua kantor pemerintahan, termasuk masjid dan sebagian bank dibedain antara yang khusus buat perempuan dan laki2. Dan seringkali kantor laki2 dan perempuan tuh berjauhan. Jadi, aduh repotnya kalo mau ngurus apa2. Bahkan disini ada juga taman dan pantai khusus perempuan. Tapi untunglah disini nggak seketat di Saudi yang nggak ngebolehin perempuan keluar sendirian dan mengharuskan perempuan pake gamis hitam ala arab.

Pertama kali nyampe disini, kesan ibu sama abu dhabi biasa aja. Masalahnya ternyata wajah kotanya tuh jauh beda dari yang ibu bayangkan. Tadinya ibu udah bersemangat soalnya ibu pikir bakalan tinggal di kota dengan nuansa arab yang kental. Tapi waktu nyampe....Loh, kok yang ada cuma gedung-gedung tinggi di semua sudutnya. Bahkan arsitekturnya pun nggak ninggalin nuansa arab sama sekali. Kecewa deh... (mungkin beda ya kalo kita ke oman ato ke yaman?)

Ibu juga kecewa karena disini souk2 (pasar tradisional arab) juga udah hampir terkikis habis. Padahal katanya pasar kan cerminan kultur masyarakatnya? Cuma ada satu dua souk. Misalnya soukh di Madina Zayed yang jualan baju2 dan aksesoris, atau meena souk dan iranian souk yang jualan karpet. Yang dua terakhir pun letaknya jauh dari kota, tepatnya di dekat pelabuhan Zayed.

Oh ya, dulu bayangannya bakalan sering liat onta sama gurun pasir. Ternyata sampe sekarang belum pernah loh. Hehehe...yah, secara abu dhabi udah dipermak habis-habisan, jadi mau liat onta sama gurun dimana? Yang ada cuma tinggal cuaca panas dan angin gurun yang kenceeeeenggg sekaleee, apalagi kalo summer suka dibarengi debu. Jadi siap2 jangan pake rok yang bahannya mudah berkibar (masalahnya disini banyak orang india yang akan dengan senang hati melototin kalo baju kita terbuka sedikit), dan bawa sapu tangan buat nutup mata biar nggak kemasukan pasir.

Tapi, kalo rumah2 (disini orang nyebutnya villa) bangunannya masih gaya arab sih, dengan dinding batu tebal dan jendela-jendela melengkung.
Wah, adek udah ribut minta diperhatiin. Hehe.... Cerita tentang makanannya lain kali aja yaa....

Saturday, September 15, 2007

Ramadhan Kariim

Ini hari ketiga ramadhan pertama kita di abu dhabi. Di Abu dhabi, ramadhan dibuka dengan fire works party di pantai corniche. So, sejak pagi kita sudah warning mas Wisang supaya bobok siang biar nanti nggak ngantuk waktu nonton fire works. Soalnya pengumumannya fire worksnya baru dimulai jam 9 malam. Nah setelah buka puasa, kita buru-buru siap-siap berangkat nih, biar nanti dapat tempat yang enak buat nonton kembang apinya. Pas keluar, eh, kok sepi yaa? Apa orang-orang masih pada tarawih jadi belum berangkat atau pada males nonton kembang api? Kalo gitu berarti kita belum telat nih, artinya bisa dapat tempat enak buat nggelar tikar di pinggir pantai nih. Hehehe...
Pas kita dah hampir nyampe dan mau nyebrang ke corniche, ternyata.....Gubrakkkk!!! Jalanan udah penuh!!! Kita aja nyebrangnya harus antri! Hehe...ternyata semuanya pada niat nonton nih. Mas Wisang sama adek Nisrin bengong, habis belum pernah lihat keramaian kayak gini selama kita di Abu dhabi. Pas nyampe di pantai, woaaa...ternyata lebih penuh lagi. Hihi...kita sampe bingung mo duduk dimana. Ayah ngajak kita jalan terus sambil nyari-nyari tempat, siapa tau ada yang enak dan kosong. Hehe...
Akhirnya dapat tempat juga. Ibu langsung didaulat ayah nyalain handycam sama jepret-jepret. Curangggg!! Ibu kan pingin difoto dan dishoot juga. Hiks... Tapi kata ayah, gantian dong, biasanya kan ayah, tapi kan bukan pas moment pesta kembang api gini ya?? Tapi btw, kembang apinya belum mulai sih, jadi masih nyante. Trus jadilah kita bengong sambil nunggu kembang apinya mulai. 5 menit 10 menit sampe setengah jam kok belum mulai juga ya? Padahal udah jam setengah 10. Mas Wisang udah mulai merengek nanya-nanya kenapa kembang apinya kok belum muncel juga. Hhhh..ibu sampe bingung, kenapa juga disini ada jam karet segala. Mana kita saltum lagi. Ibu kira kan di luar dingin, soalnya kemarin-kemarin udah mulai enak cuacanya. Jadi semua pake jaket. Ternyata cuacanya so so aja. Jadi ya agak keringetan deh kita...
Jam 21.40 baru deh kembang apinya mulai. Baguss!! Hehe...soalnya belum pernah lihat fire works party sih, jadi ya agak ndeso. Hihihi... Tapi kata ayah kalo di amrik lebih lama loh, padahal menurut ibu itu udah lama banget durasinya. Sampe pegel nggendong adek, ayah sibuk ngerekam pake handycam.
Nggak tau kenapa, mas Wisang selalu takut dengar suara yang keras, bahkan sejak mash di perut ibu dulu ibu udah ngerasa loh. Soalnya tiap nyalain mesin cuci di tempat mbah ibu (ibunya ayah), ibu ngerasa mas Wisang tuh pegangan dan gelisah geraknya denger suara mesin cuci. Pas nonton fire works ini juga begitu, mas Wisang nontonnya sambil tutup telinga. Soalnya kan ada suara jedar jedernya. Dan, akhirnya merengek lagi deh, ngajak pulang.
Tapi akhirnya mau juga mas Wisang nonton sampe selesai. Dan pas jalan pulang antrian nyebrangnya lebih heboh lagi. Kasihan deh yang pake mobil, jalanan penuh, mana banyak anak kecil, stroller bertebaran. Jadi mereka terpaksa ngalah, ngasih jalan buat pedestriannya. Hehe...Trus kita ketemu tetangga, pakde Bambang ( namanya sama dengan tetangga kita di Duri ya? Hehe..) sama budhe Ester. Mereka cuma berdua soalnya anaknya kan udah kuliah di Doha. Jadilah kita jalan bareng sampe rumah....Hhhh..tinggal tarawihnya nih...padahal mata rasanya udah beratttt banget. Hikks....

Tuesday, September 11, 2007

Kenangan di Duri

Dah lama nggak denger kabar tentang Duri. Jadi inget masa-masa kita di sana dulu. Ramenya arisan-arisannya(campur-campur!! masih rame nggak ya arisannya??), empek-empek weni, siomay jakarta, bakso pak dhe, ushulluddin (bentar lagi puasa, pasti dah mulai rame ya pasar kaget ramadhannya), commissary, pasar pak edy, si renynya marigold, kue-kuenya mbak rien doni sama mbak reri, sampe abang-abang sopir taksi yang udah mulai akrab sama wisang .....(secara Wisang hobi banget naik taksi gitu loh dan tak ada hari tanpa naik taksi ke commissary atau ushulluddin).
Kata Ana, rumah kita di krakatau 308 udah ada yang nempatin. Si Adi, pengantin baru. Sempat kenal sih. Anak ugm juga. Dulu dia (sama Cahyo) malah pernah kita minta tolong jagain rumah waktu kita mudik lumayan lama. Mereka masih pegawai baru waktu itu, jadi mungkin nggak enak kali ya kalo mo nolak...hihi... Trus rumahnya dah nggak karuan bentuknya (tamannya maksudnya). Padahal taman kita dulu boleh dibanggain lho. Banyak bunga nan cantik. Iya lah kita kan rajin...(pak gimin, tukang kebun kita yang rajin maksudya. hehe...). Ternyata bunga-bunga itu udah pada ngungsi ke halaman sebelah (dasar Bu ana! Hehe...), dan bunga-bunga di pot juga udah pada pindah ke rumah mbak virda.
Tapi yang paling kukangenin manusia2nya. Apa kabar ya semua? Dulu kita suka bakar-bakar ikan kalo weekend. Apalagi waktu masih tinggal di wisma. Kadang-kadang si bapak-bapak pada berjuang dulu nyari ikan di empang (mancing maksudnya), trus baru deh kita olah rame-rame (rame2 itu maksudnya bapak-bapak yang kerja keras bersihin ikan, mbumbuin, bakar sampe mateng dan siap disantap. ibu-ibu? rame-rame juga sih, ngerumpinya maksudnya. hehe). Waktu itu kita masih pada hamil (Wisang belum lahir). Jadi sering banget makan rujak mangga secobek bersama bareng ana, mbak donna, reni, mbak widya,mbak gita, mbak lily. Hiks... Nggak kebayang kalo one day Wisang dah gede trus ketemu Yesha, Shafa, Zidan, Shasha, Quinn. Masih kenal nggak ya mereka. Waktu itu hampir tiap minggu ayah ngibulin mas dicky yang juragan mangga (secara halaman rumahnya penuh pohon mangga), katanya minta mangga buat ibu yang lagi hamil. Padahal yang ngidam mangga tiap hari tuh ayah. Hehehe....
Terus yang seru lagi, karena kita punya tetangga idaman di krakatau. Jeng ana dan om bambang. Hehe... Kangen kiriman-kiriman makanan dan oleh-olehnya kalo abis mudik niy! Hiks..bisa nggak ya punya tetangga kayak gitu lagi.....?? Apalagi Wisang juga dekat sama mereka, jadi kadang-kadang mereka jadi tempat penitipan Wisang (jadi inget waktu hari2 terakhir, wisang dapat kado perpisahan cantik, foto bertiga sama om bambang dan tante ana. thanks ya jeng, it's so sweet...). Oh, what a wonderfull time in Duri......

Saturday, August 11, 2007

Kunjungan Pertama

Hari ini Wisang sama adek ketemu teman baru. Om Boy-tante Frisa berkunjung ke rumah. Anaknya ada 2. Yang pertama Bang Hilmi (Wis salah manggil mas Bang terus, bingung kali. hehe...) dah 5 tahun, baru mau masuk sekolah di canadian school. Yang kedua, Rafi, baru 10 bulan. Mereka baru pindah juga dari Indonesia, Balikpapan tepatnya. Jadi ngomongnya masih pake bahasa Indonesia. Pertama ketemu, Wisang masih takut-takut. Dikiranya Bang Hilmi ngomongnya pake bahasa Inggris. Kan Wisang masih belajar, jadi grogi mau nyapa. hehe... Tapi ternyata Bang Hilminya juga sama-sama grogi. Jadi ada jeda sebelum mereka mau main bareng. Setelah itu? Wow! Langsung deh, Wisang ngeluarin seluruh harta bendanya dari kamarnya. Ruang tamu tumplek blek penuh mainan (ibu langsung komat kamit biar entar nggak teler beresin rumah). Mereka lumayan lama di rumah. Ayah sama Om Boy asyik ngobrol sambil nonton liga Inggris. Ibu? Biasalah. Ngerumpiin gimana rasanya di abu dhabi sama tante Frisa.
Mereka sebelumnya ternyata pernah tinggal 3 tahun di Paris. Tante Frisa cerita gimana bedanya tinggal di sini dengan di Paris. Misalnya, kalo lagi jalan bawa stroller, di Paris selalu ada yang menawarkan bantuan kalo pas lewat tangga/undakan, transportasi mudah (catatan: kita pernah gosong di marina mall gara-gara ngantri taksi 2 jam!).
Dan ternyata mereka juga sama. Sering dikira orang Philipina. Mungkin memang disini jarang ada ekspat orang Indonesia. Jadi orang sering salah duga. Apalagi kita sekeluarga sipit-sipit. hehe...Oh ya, waktu pertama datang. Mereka kaget. Soalnya rumah kita sudah komplit. Masalahnya mereka milih bawa perabotan dari Indonesia, dan barangnya baru datang akhir agustus, padahal mereka dah sampai di abu dhabi sejak akhir juli. Sementara kita milih dapat uang furniture, jadi dari Indonesia cuma modal baju sama minyak telon doang. Semuanya beli disini. Dan untungnya ada temen ayah, orang jepang yang mau pindah. Jadi kita langsung nyewa bekas apartemennya all in dengan seluruh furniturnya. Beruntungnya kita....