Pages

My Blog List

Wednesday, December 26, 2007

Makan nggak makan yang penting kumpul

Baru-baru ini, di sebuah mail-list professional yang saya ikuti, ada pembahasan topic mengenai kenapa Negara kita nggak maju-maju. Saya selalu malas membaca topic-topik yang seperti ini karena hampir selalu tidak ada ujungnya, semuanya berpendapat berdasarkan apa yang dipikirnya betul tanpa melalui pemikiran yang mendalam. Lebih menyedihkan lagi, pembicaraan masalah seperti ini berakhir begitu saja tanpa ada tindak lanjutnya.

Kebetulan saya baca yang terakhir (pada tanggal itu) dari rangkaian perbincangannya. Disitu dibandingkan antara Indonesia dan Cina, kenapa kok cina dengan penduduk yang luar biasa banyak dan sumber daya alam yang biasa-biasa aja bisa maju seperti itu sedangkan Indonesia, yang sering mengklaim karena kebanyakan penduduk sehingga susah mengaturnya, yang sumber alamnya mungkin sebanding dengan cina atau mungkin lebih baik lagi, kok nggak ada kemajuan yang berarti.

Kemudian banyak bermunculan alasan-alasan kenapa bangsa kita kok kalah terus. Mulai dari korupsi, salah management, sampai perilaku budaya disebut-sebut sebagai biang keroknya. Ambil beberapa contoh disitu yang berkaitan dengan budaya. Disitu ada yang menyebutkan bahwa budaya atau perilaku “makan nggak makan yang penting kumpul”, “terlalu menerima”, “banyak anak banyak rejeki” dan sejenisnya, perlu dirubah biar kita punya pandangan yang maju.

Yang menarik perhatian saya, dari contoh-contoh yang dikemukakan tadi, timbul pertanyaan dalam hati dan akal sehat saya: jaman sekarang ini, apa iya orang masih berpikiran seperti itu? Dengan kata lain, saya meragukan bahwa pola pikir atau budaya seperti itu masih dipertahankan sampai sekarang. Mungkin yang menuliskan tadi belum pernah benar-benar menyelami kehidupan orang-orang yang relatif susah hidupnya. Berapa ratus ribu atau bahkan juta tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri mulai dari pekerja domestik (prosentase terbanyak), pekerja perkebunan sampai tenaga kerja profesional di berbagai bidang. Dia mungkin belum pernah membaca, bagaimana gubernur DKI dan Pemkot Surabaya melontarkan himbauan disetiap kali Idul Fitri agar bagi pemudik tidak membawa sanak saudaranya ke kota-kota besar tadi. Bahkan diapun sepertinya tidak menyadari bagaimana ratusan orang meninggal tiap tahun untuk mudik pulang kampung untuk merayakan idul fitri-untuk menggambarkan betapa banyaknya pemudik.

Mereka semua adalah para warga negara yang telah meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan demi menyambung hidup atau mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka memilih merantau daripada memilih tinggal dirumah bersama sanak keluarga handai taulan untuk sekedar “makan tidak makan yang penting kumpul”.

Budaya akan terus berkembang karena itu hasil dari interaksi manusia dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Dari interaksi tersebut, timbul perilaku yang disepakati yang ujung-ujungnya adalah produk budaya itu sendiri. Dulu ketika jumlah lahan perkebunan dan persawahan masih berlimpah, orang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam dan tidak memerlukan rangkaian perjalanan jauh dari keluarga untuk mencari rejeki.
“Makan tidak makan yang penting kumpul” muncul ketika situasinya tidak memungkinkan untuk mendulang penghasilan yang lebih baik dengan cara merantau, daripada pola hidup bercocok tanam dan beternak di kampung halaman. Semoga akal sehat kita masih bisa menerjemahkan idiom diatas sebagai sebuah pernyataan bahwa kampung halaman jelas menjadi pilihan untuk tinggal dan bekerja dibanding merantau tapi tidak memberikan penghasilan yang lebih baik. Semoga akal sehat kita tidak menerjemahkannya sebagai sebuah pernyataan untuk bunuh diri kolektif karena memilih kelaparan daripada berjauhan dari keluarga.

Baru-baru ini, ada sebuah fenomena yang bisa kita jadikan perbandingan. Di Republik Irlandia, di tahun 1997, penduduk negeri itu hanya sekitar 500 ribu meskipun warga negaranya jauh melebihi angka itu. Artinya adalah mayoritas warga negaranya merantau. Tetapi, di tahun 2007 ini, jumlah penduduk yang tercatat di Negara tersebut melebihi angka 4 juta, sebuah kenaikan yang sangat fantastis. Artinya adalah mayoritas warga negaranya memilih balik kenegaranya untuk bekerja dan bertempat tinggal. Dengan kata lain, telah tersedia lapangan kerja yang sangat banyak dan menarik mereka untuk pulang ke Negara asalnya. Apakah mereka ini juga punya semboyan “makan tidak makan yang penting kumpul”? Jawabannya adalah iya.

No comments: